Jeritan hati di masa pandemi virus
Senin, 22 Februari 2021
Masih tentang COVID 19, karena memang saat ini kita masih hidup dalam masa pandemi yang berkelanjutan, sudah masuk 2 tahun lamanya. Semua terdampak tidak dan dipungkiri lagi akan hal itu, banyak kalangan bahkan semua berharap untuk segera berhenti pandemi tersebut, segera berjalan normal seperti keadaan semula.
Berbagai hal sudah dilakukan dan diupayakan baik oleh masyarakat dan juga pemerintah. Menekan dan menghambat merebaknya virus serta berusaha dalam kehidupan. Dilakukan upaya untuk patuhi "prokes" mulai anjuran sederhana namun bermanfaat besar, selalu hidup bersih, selalu mendekat kepada sang pencipta, saling membantu sesama, dan hal hal lain yang berguna bagi diri sendiri maupun yang lain. Masyarakat pun juga berupaya untuk kelangsungan hidup, kita semua dituntut oleh keadaan untuk berjuang, melawan dan bertahan. Berjuang untuk bertahan hidup, melawan virus yang sudah menjadi pandemi dengan "prokes" dan aturan aturan serta bertahan agar kelak bisa menjadi lebih baik setelah badai berlalu.
Terkadang kita merasa penat dengan semua ini, merasa tertekan dan tak kuasa. Kadang ingin menjerit dan menangis, namun kita tetap harus bersabar dan selalu berusaha.
Pernah baca baca kolom komentar disebuah laman di media sosial yang berisi tentang COVID 19, mereka semua merasa penat. Berulang kali mereka bilang covad covid maneh, heheheheee..... Ada yg komen untuk selalu berusaha di suatu postingan, masih tentang COVID 19 juga postingannya dan kebetulan salah satu pengkomen terdampak dalam kehidupan perekonomian nya, hingga akhirnya mereka saling ribut, cekcok, cemooh lewat kolom komentar...... Heheheh lucu juga kalau diikuti kolom komentarnya, dalam hati cuma bisa berkata muatan beritanya hebat juga, bisa buat orang ribut.
Pernah juga baca artikel cuman saya lupa judul artikel dan dari website mana, diberitakan telah terjadi peristiwa yang cukup membuat hati miris, menangis. Karena memang seperti apa yang saya alami. Diberitakan ada salah satu warga yang rela menggadaikan apapun demi makan di masa pandemi ini, dia sudah menggadaikan semua barangnya, hp sebagai sarana daring untuk anaknya sekolah pun ikut tergadaikan, bahkan yang lebih miris lagi dia menggadaikan KK dan KTP hanya untuk makan. Ibu tersebut kebingungan harus bagaimana lagi, hingga beliau menghadap dan mengadu ke pemerintahan. Beliau punya 2 anak kalau tidak salah, yang satu duduk di bangku SD dan adiknya mau masuk TK. Sang suami adalah pekerja buruh bangunan, namun karena dimasa pandemi ini tidak ada pekerjaan atau proyek, maka beliau kehilangan mata pencaharian.
Hal diatas merupakan jeritan hati dari seseorang disaat pandemi ini, kemirisan dalam hidup yang bisa kita lihat dan rasakan.
Karena hal diataslah saya merasa menangis sendiri, ikut bingung, apa yang terjadi pada saya nantinya, mengingat pekerjaan dan keahlian saya sudah tidak dibutuhkan lagi, kosongnya pekerjaan satu satunya yang bisa saya lakukan sesuai keahlian saya. Pekerjaan konstruksi maupun proyek sudah sepi, kalau pun ada sudah seperti emas, "berebut" untuk saling mendapatkan.
Pernahkah membayangkan kita kehilangan pekerjaan yang bisa kita lakukan, dan kita banting setir dan berdagang misalnya, kita tahu berdagang maupun jualan pasang surut, hari ini ada penghasilan besok belum tentu, hari ini dapat untung, besok rugi. Sementara dirumah,
Sang keluarga butuh penghidupan, sang anak butuh sekolah dengan cara memenuhi kewajiban pembayaran SPP, jika masih TK apakah ada yg tidak bayar SPP perbulannya. Sang anak anak juga butuh pulsa internet untuk daring sekolah.
Kita berusaha maksimal, jualan, ajukan untuk dapat BST, kira kira kalau bisa masuk dan dapat BST hanya 4 bulan senilai 300 ribu rupiah, apakah cukup untuk membiayai bayar SPP sang anak dan kebutuhan lainnya dalam satu tahun. Dan bagaimana jika masa 4 bulan BST habis, sudah pasti bergantung pada hasil jualan gorengan, omsetnya besar tapi pembelian bahan pun besar, penghasilan bersih hanya sekitar 35.000 rupiah saja dalam satu hari dan besoknya berharap ada yang beli.
Hal ini lah yang mempengaruhi pikiran saya, dalam hati sambil menangis selalu berkata.
"saya hanya seorang yang kehilangan pekerjaan yang dituntut untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dengan cara berusaha dan berdagang, yaitu jualan gorengan" dimasa pandemi ini.
Terserah anda menyingkapi seperti apa, yang jelas ini lah yang terjadi.
Dari sini bisa kita tarik kesimpulan bahwa kita harus selalu berikhtiar, berusaha, mencari solusi, berpikir lebih keras lagi. Dan yang terpenting adalah lebih mendekat kepada Allah SWT, meminta kepadanya. Selalu berpikiran positif, lawan pikiran negatif, kebimbangan dan kekuatiran dengan pikiran positif, lawan dengan solusi terbaik. Kita harus bisa mandiri dengan memanfaatkan yang ada dan yang sudah diberi.
Bagaimana dengan anda, jika diposisikan pada hal sulit seperti diatas??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar