Jumat, 18 April 2025
Pagi itu, aku bangun dengan semangat yang lebih mirip mood nonton video kucing jam 2 pagi daripada semangat kerja.
Alarm berbunyi tiga kali dan tiga kali pula aku menundanya seperti sedang menegosiasikan kontrak kerja dengan waktu. Akhirnya, setelah menatap langit-langit kamar sambil mengintip makna hidup selama 15 menit, aku bangkit dari tempat tidur.
Tanpa sarapan, tanpa kopi, saya berangkat ke kantor hanya bermodalkan niat dan sedikit sisa motivasi dari semalam.
Sebenarnya aku tahu, berangkat kerja tanpa sarapan itu seperti masuk perang tanpa baju zirah. Tapi pagi itu semuanya terasa serba buru-buru. Tiba di kantor, belum juga duduk sempurna, perutku sudah memproklamasikan kemandiriannya dengan suara keroncongan yang bisa mengagetkan rekan kerja di sebelah.
“Laper, ya?” tanya kerja temanku sambil senyum penuh empati atau mungkin itu senyum mengejek, aku belum sempat memastikan.
Aku hanya mengangguk pelan, seperti aktor utama dalam sinetron yang sedang tertimpa cobaan hidup. Tak tahan dengan memeras perut dan aroma makanan rekan-rekan yang sudah sarapan, saya memutuskan untuk keluar sebentar mencari makan.
Di sekitar kantor, warung makan berjejer seperti peserta bazar yang siap memanjakan lidah. Aku melangkah seperti detektif kuliner, mencari makanan yang tidak hanya mengenyangkan, tapi juga mengobati perasaan... lapar.
Langkahku berhenti di sebuah warung sederhana. Warungnya tidak mencolok, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang menarik di dekatnya. Mungkin karena aroma masakannya yang menggiurkan, atau mungkin karena si ibu penjualnya tersenyum ramah seperti ibu-ibu di sinetron yang selalu menyediakan teh manis dan nasihat. Ibu penjualnya menawarkan nasi bungkus dengan lauk bali tongkol. Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengangguk. Siapa yang bisa menolak kombinasi karbohidrat dan nostalgia?
Beberapa menit kemudian, aku kembali ke kantor dengan sebuah kantong plastik berisi harapan dan karbohidrat.
Saat membuka bungkusnya di kantor, aroma bumbu bali tongkol menyeruak, menghancurkan memori masa kecil seperti soundtrack sinetron yang tak bisa dilupakan.
Seketika, dunia terasa melambat. Aku seperti sedang berada dalam adegan kilas balik sebuah film.
Tiba-tiba aku kembali jadi anak kecil yang duduk di lantai sambil makan sarapan sebelum sekolah.
Masa kecilku datang menyapa.
Aku teringat, dulu setiap pagi sebelum berangkat sekolah, aku sering mampir ke warung dekat rumah untuk membeli sarapan. Dan salah satu menu favoritku adalah nasi bungkus dengan tongkol bali. Ibuku biasanya sibuk menyiapkan adikku, jadi urusan sarapan sering kuurus sendiri. Warung langgananku dikelola oleh seorang ibu paruh baya yang selalu memanggilku “Le”, aku bahkan tidak tahu kenapa.
Makanan itu sederhana, tapi punya rasa yang begitu dalam. Ikan tongkol berbumbu merah dengan rasa pedas manis asin itu dibawaku pulang. Dulu aku selalu membeli makanan ini di warung dekat rumah. Kini, rasa itu kembali hadir, dibungkus oleh tangan ibu warung yang mungkin tidak disadari dia baru saja mengirimkan mesin waktu lewat nasi bungkus.
Aku menatap nasi bungkus itu cukup lama, hingga temanku sempat menoleh dan bertanya, “Lu nunggu nasi itu ngomong duluan?”
Aku tertawa kecil. Dalam hati aku merangkul, “Ya Allah... aku rindu dengan makanan ini.”
Tanpa pikir panjang, aku mulai menyantapnya. Suapan pertama sukses membuat saya menutup mata sejenak, seperti sedang ikut lomba “mencicipi makanan dengan penuh penghayatan”.
Setiap rasa di lidahku membangkitkan kenangan: suara motor tukang sayur di pagi hari, suara ibu memanggilku untuk segera mandi, dan suara TV yang masih memutar acara kartun jam 6 pagi. Ah, nostalgia memang aneh. Datangnya tak diundang, tapi selalu berhasil membuat kita diam dan tersenyum.
Makanan itu benar-benar mengobati rindu. Rasanya aku sedang sarapan di rumah, duduk di lantai sambil menonton acara anak-anak, bukan di meja kantor yang penuh dokumen.
Dan yang lebih ajaib lagi, aku merasa kenyang secara emosional. Seolah-olah nasi bungkus itu bukan hanya mengisi perutku, tapi juga mengisi ruang kosong di hati yang sudah lama tidak menyentuh kenangan masa kecil.
Selesai makan, aku menyandarkan tubuh di kursi, tersenyum puas. Bukan hanya perutku yang kenyang, hatiku pun terasa penuh. Sering kali kita tidak sadar bahwa makanan bukan hanya soal rasa, tapi juga soal kenangan, rasa sayang, dan momen-momen kecil yang membentuk siapa kita sekarang.
Kadang-kadang hidup memberi kejutan kecil yang manis. Kita tidak pernah tahu, dari mana datangnya rasa hangat itu, bisa dari lagu lama yang tiba-tiba terdengar di radio, bisa dari aroma tanah setelah hujan, atau… dari sebungkus nasi dengan lauk bali tongkol.
Dan sejak hari itu, aku mulai percaya bahwa rindu pun bisa dibungkus. Ditaruh dalam kertas nasi, dilipat rapi, dan disajikan dengan bumbu cinta ala ibu-ibu warung.
Terima kasih untuk nasi bungkus khas Madura pagi itu. Terima kasih untuk tongkol bali yang sederhana tapi penuh cerita. Dan tentu saja, terima kasih kepada ibu warung—yang tanpa sadar, sudah membuat kenangan indah.
Jadi, kalau kamu hari ini sedang lapar, jangan hanya mencari makanan untuk perut. Siapa tahu, makanan itu juga membawa pulang sedikit kenangan.